Perlawanan Orang-Orang Gagah (Catatan Kemenangan 3-1 Juventus atas Real Madrid )
Klutikjoss87 - Sebelum pertandingan, Buffon ditanya oleh wartawan, "Apakah ini akan menjadi laga terakhir Anda di Liga Champions?" Sambil tersenyum, kiper berumur 40 tahun itu menjawab, "Tak masalah ini menjadi laga terakhir saya, yang penting bukan laga terakhir Juventus di Liga Champions." Kata-kata itu seakan menjadi jimat sakti bagi semua personel Sang Nyonya Besar. Di lapangan semua pemain bermain begitu spartan, terus bergerak, tak kenal lelah, dan disiplin. Semua nyaris sempurna. Nyaris.
Ini Santiago Bernabeu, stadion keramat markas sang Raja Spanyol dan penguasa Liga Champions Eropa. Para zebra memasukinya dalam kondisi luka-luka. Mereka diremehkan. Di rumah, mereka dibantai tiga gol tanpa balas oleh predator asal Portugal, Ronaldo, dan kawan-kawan. Salah satu zebra terbaik, La Joya, juga tak bisa bermain karena kartu merah di laga pertama. Meraih kemenangan bagi anak asuh Allegri, apalagi untuk bisa lolos ke semifinal, nyaris sebuah kemustahilan. Seluruh pencinta sepakbola pun pesimis, kecuali Alessandro Del Piero, Sang legenda, yang berkata, "perjuangan belum berakhir bagi Juventus. Saya yakin akan ada keajaiban." Dan seakan mematuhi kata-kata sang pangeran, pria-pria terluka dari Turin itu nyaris mewujudkan keajaiban. Nyaris.
Mandzukic bermain luar biasa. Dua gol dia borong dengan kepala. Matuidi tak kalah hebat, mencetak satu gol dan menjelajah seluruh bagian lini tengah. Tiga gol tercipta dan harapan kembali menyala. Khedira bermain hebat. Pjanic bermain hebat. Costa bermain hebat. Higuain bermain hebat. Sandro bermain hebat. Chiellini bermain hebat. Benatia bermain hebat. Lichtsteiner bermain hebat. Allegri meracik taktik dengan hebat. Dan yang paling hebat di antara semuanya adalah Buffon. Hari ini dia melompat, menepis, menendang, berteriak, berjingkrak-jingkrak saat terjadi gol, semua dengan totalitas. Tak ada satu gol pun bersarang ke gawangnya. Tidak ada pemain Madrid yang berhasil menjebol bentengnya yang kokoh. Dia seakan muda kembali, menjelma seorang Buffon yang membawa Timnas Italia mengangkat trofi Piala Dunia dua belas tahun yang lampau. Sampai kemudian wasit menghukumnya dengan sangat keras. Sangat berat.
Saat pertandingan seolah bakal dilanjutkan ke babak tambahan waktu atau bahkan sampai adu penalti, tiba-tiba bola sundulan Ronaldo menjadi liar di depan gawang kekasih Italia. Lucas Vasquez, sayap imut yang baru masuk di babak kedua mengejar bola, Benatia mencoba mengawalnya. Mungkin ada benturan dalam perebutan bola itu. Dia terjatuh dan bola dipeluk oleh laki-laki yang memakai plakat kapten di lengan kirinya. Lalu wasit menunjuk titik putih. Benarkah itu pelanggaran? Bagi armada asuhan Zidane, ya itu pelanggaran dan mereka senang akan mendapat kado paling Indah di malam penuh penderitaan itu. Mereka seperti orang nyaris tenggelam yang menemukan seutas tali penolong. Sedangkan seluruh pemain Bianconerri protes keras: ayolah, hanya bayi yang baru belajar berjalan akan jatuh terkena sentuhan selembut kapas seperti itu! Semua menyerukan ketidaksetujuan yang sia-sia belaka, karena Liga sepakbola paling elit di Eropa ini tidak memakai rekaman video sebagai pertimbangan wasit dalam mengambil keputusan. Sekali wasit menunjuk titik putih, maka penalti tidak akan bisa dianulir. Buffon, sebagai pemimpin, berada di baris terdepan, meradang, merangsek, dan mendesak wasit. Hanya itulah usaha yang mungkin dia lakukan. Entah apa yang dia teriakkan. Wasit tetap berwajah dingin saat memberi kartu merah. Buffon dihukum dua kali: penalti tak masuk akal, dan kartu merah yang jauh lebih tidak manusiawi.
Ya, malam ini drama tergelar di laga Eropa terakhir seorang juara. Seperti Zidane di piala dunia 2006, Buffon terpaksa meninggalkan lapangan di saat paling genting sebuah pertandingan. Apakah dia seorang pecundang? Tentu saja bukan. Buffon adalah pemimpin dari sepasukan pria gagah yang dengan penuh kesadaran memikul beban derita sebuah kegagalan. Hari ini, dia bahkan jauh lebih gagah daripada laki-laki berotot yang melepaskan baju dan merayakan gol penalti ke gawang Szczeny. Saya, dan mungkin Anda, akan terus mengingatnya sebagai laki-laki yang melompat dengan penuh kegilaan dan mengajak semua Juventini untuk bersorak merayakan gol ketiga Juventus yang dicetak Matuidi. Laki-laki ini pula yang memberontak kepada keputusan wasit yang diyakininya sebagai sebentuk kelaliman. Dia terusir, tapi tidak akan pernah sendiri dalam kesepian.Kesan ini akan abadi.
Malam ini, sepasukan laki-laki gagah melakukan perlawanan dengan indah. Saya bersaksi bahwa mereka adalah para pahlawan.
kiper kesukaan gua buffon
ReplyDeletekiper legendaris dan patut jadi panutan
Delete